GALUH PANGAUBAN:
Raja Galuh Pangauban yang bernama Prabu Haur Kuning
yang mendirikan kerajaan di Putrapinggan (Kalipucang) punya anak 3 orang yaitu:
1. Maha Raja Upama
2. Maha Raja Cipta Sanghiang
3. Sareusepan Agung
Maha raja Upama menjadi raja
menggantikan ayahnya di Putrapinggan,Saereusepan Agung jadi raja di Cijulang
dan maha raja Cipta Sanghiang menjadi raja di Galuh Salawe didaerah Cimaragas
sekarang.
Maharaja cipta sanghiang
punya anak 3 orang yaitu:
1. Tanduran Ageung atau disebut
Tanduran Gagang
2. Cipta Permana
3. Sanghiang permana
Sanghiang Permana meneruskan
pemerintahan ayahnya di Galuh Salawe (Cimaragas) dengan gelar Prabu Digaluh,
Cipta Permana mendirikan kerajaan Galuh Kawasen di Banjarsari. Tanduran Ageung
kawin dengan Rangga Permana mendirikan kerajaan Galuh Kerta Bumi Di Muntur.
Tulisan ini diambil dari internet, tapi juga ada buku karya
H. Jaja, sehingga cerita ini banyak dikenal orang.
Pananjung
Desa Pananjung Pangandaran pada
awalnya dibuka dan ditempati oleh para nelayan dari Suku Sunda. Para pendatang
lebih memilih daerah Pangandaran untuk menjadi tempat tinggal karena gelombang
laut yang kecil membuat mereka mudah untuk mencari ikan. Pantai Pangandaran
memiliki sebuah daratan yang menjorok ke laut dan sekarang menjadi cagar alam
atau hutan lindung, dan tanjung inilah yang menghambat atau menghalangi
gelombang besar untuk sampai ke pantai.
Para nelayan menjadikan pantai pangandaran sebagai tempat untuk menyimpan
perahu yang dalam bahasa sundanya disebut andar. Beberapa waktu kemudian para
pendatang banyak bersandar ke tempat ini dan menetap sehingga menjadi sebuah
perkampungan yang disebut Pangandaran. Pangandaran berasal dari dua buah kata
pangan dan daran, pangan berarti makanan dan daran maknanya pendatang.
Pangandaran dapat diartikan sebagai sumber makanan para pendatang.
Sesepuh terdahulu memberi nama desa dengan kata 'Pananjung', karena di daerah
itu terdapat tanjung dan banyak sekali terdapat daerah keramat di beberapa
tempat. Pananjung berasal dari kata dalam bahasa Sunda 'pangnanjung-nanjungna'
(paling subur atau paling makmur).
Pananjung pada mulanya merupakan salah satu pusat kerajaan,
sejaman dengan kerajaan Galuh Pangauban yang berpusat di Putrapinggan sekitar
abad XIV M, yaitu pada masa setelah munculnya kerajaan Pajajaran di Pakuan
Bogor. Nama raja Kerajaan Pananjung adalah Prabu Anggalarang yang disebut dalam
salah satu versi kisah sejarah sebagai keturunan Prabu Haur Kuning, raja
pertama kerajaan Galuh Pangauban. Kerajaan Pananjung sayangnya hancur diserang
oleh para Bajo (Bajak Laut) karena tidak bersedia menjual hasil bumi kepada
mereka. Penolakan Kerajaan Pananjung ini disebabkan pada saat itu situasi
rakyat sedang dalam keadaan paceklik (gagal panen).
Penjajah Belanda melalui Y. Everen (Residen Priangan) menjadikan Pananjung
sebagai taman baru pada tahun 1922. Waktu itu terjadi penambahan 'penghuni'
taman dengan dilepaskannya seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan
beberapa ekor rusa.
Pananjung dijadikan suaka alam dan marga satwa pada tahun 1934, dengan luas 530
Ha. Penetapan ini berdasarkan alasan karena Panjanjung memiliki keanekaragaman
satwa dan jenis–jenis tanaman langka, dan agar kelangsungan habitatnya dapat
terjaga. Status Pananjung berubah menjadi cagar alam pada tahun 1961 setelah
ditemukannya Bunga rafflesia padma.
Sebagian kawasan Pananjung seluas 37,70 Ha dijadikan Taman Wisata pada tahun
1978, seiring dengan meningkatnya hubungan masyarakat dengan tempat rekreasi.
Kawasan perairan di sekitarnya pada tahun 1990 dikukuhkan pula sebagai cagar
alam laut (470,0 Ha), sehingga luas kawasan pelestarian alam seluruhnya menjadi
1000,0 Ha.
Pengusahaan wisata TWA Pananjung Pangandaran pada perkembangan selanjutnya
berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 104/KPTS-II/1993 diserahkan dari
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam kepada Perum
Perhutani dalam pengawasan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, Kesatuan
Pemangkuan Hutan Ciamis, bagian Kemangkuan Hutan Pangandaran.
(Sumber Internet)
Ronggeng Gunung
Di Kabupaten
Ciamis, tepatnya di Ciamis selatan terdapat sebuah legenda masyarakat Dewi
Rengganis. Legenda ini mengisahkan tentang kisah seorang Putri yang bernama Dewi Rengganis
atau Siti Samboja, dia adalah salah satu putri yang ke-38 dari Prabu Siliwangi
yang bersuamikan Angkalarang. Dalam buku sejarah Ciamis diceritakan bahwa Dewi
Rengganis dan Angkalarang Memiliki sebuah kerajaan bernama kerajaan Kidang
Pananjung (obyek wisata pantai pangandaran). Suatu hari kerajaan tersebut di
serang oleh Para Bajo atau Bajak Laut dari sebrang (versi lain mengatakan
bangsa Portugis).
Suami Dewi
Rengganis Angkalarang tewas terbunuh oleh Kalasamudra (pimpinan para bajo),
sedangkan Dewi Rengganis lari bersama para pengikutnya. Dewi Rengganis sangat
sedih atas kematian Suaminya. untuk menghilangkan kesedihan dan kemarahan
Putrinya atas kematian Angkalarang, Ayahandanya yaitu Prabu Siliwangi
memberikan wangsit kepada Putrinya. Isi wangsit itu adalah untuk membalas
Kalasamudra atas kematian Suaminya Angkalarang, Dewi Rengganis harus menyamar
menjadi Ronggeng dan memakai nama Nini Bogem. Sesuai wangsit itu Dewi Rengganis
mulai belajar menari dan seni beladiri. Singkat cerita Dewi Rengganis berhasil
memikat Kalasamudra dan berhasil membunuh Kalasamudra.
Masih di daerah Ciamis
tepatnya Ciamis selatan sekitar Banjarsari sampai Pangandaran terdapat kesenian
buhun yang bernama Ronggeng Gunung yang berfungsi sebagai sarana
upacara adat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Ronggeng adalah tari
tradisional Indonesia dengan penari utama wanita dengan dilengkapi selendang
atau sampur sebagai kelengkapan menari” (Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan
pengembangan bahasa,1989,531). Berbeda dengan sebutan ronggeng pada
umumnya seperti yang dikatakan dalan Ensiklopedi Sunda dikatakan bahwa:
Pada masa sebelum
perang , semua Perempuan yang menyanyi atau menari di depan umum disebut
Ronggeng. Sekarang Penyanyi dengen iringan gamelan atau kliningan disebut
Sinden atau Pasinden. Sebutan Ronggeng hanya diberikan kepada perempuan yang
kecuali Penyanyi (kawih), juga melayani para Penonton yang beminat untuk menari
dengan imbalan uang, seperti dalam ketuk tilu, doger, dongret,, longser,
dll ( Ajip rosidi,2000,551).
Ronggeng Gunung
berbeda dengan Ronggeng lainya, dilihat dari Sinden, pemain atau Penari,
bentuk koreografi, pola lantai , tidak ada imbalan uang untuk menari.
Dalam Ronggeng Gunung wanita atau Sinden lebih banyak menyanyi. Keseluruhan
Penarinya adalah laki-laki, bentuk koreografi Ronggeng Gunung lebih terfokus
pada gerakan kaki walaupun ada sebangian gerakan tangan tapi semuanya bepatokan
pada kaki. Pola lantai Ronggeng Gunung selalu melinkar walaupun sesekali
berpencar pada gerakan adu dalam lagu “ sagaran”. Pada awalnya
Ronggeng Gunung hanya digunakan untuk sarana upacara yang berkaitan dengan
pertanian atau kesuburan . (sumber Internet)
Galuh Kertabumi
Galuh Kertabumi
merupakan kerajaan wilayah,bagian dari dinasti Kerajaan Galuh Pangauban yang
didirikan oleh Prabu Haur Kuning di Putrapinggan Kalipucang (diperkirakan sekitar
1530 M). Raja ini memiliki tiga orang putra yang bernama Maharaja Upama,
Maharaja Sanghyang Cipta dan Sareuseupan Agung. Sebagai anak tertua,
Maharaja Upama mewarisi kerajaan Galuh Pangauban dari ayahnya. Maharaja
Sanghyang Cipta diberi wilayah Salawe (Cimaragas) dan mendirikan Kerajaan Galuh
Salawe. Sedangkan Sareuseupan Agung menjadi raja di wilayah Cijulang.
Menurut H. Djaja Sukardja, MaharajaSanghyang Cipta
mempunyai 3 orang putra yang bernama Tanduran Ageung (Tanduran Gagang),Cipta
Permana, dan Sanghyang Permana. Tanduran Ageung kemudian menikah dengan
Rangga Permana, putra Prabu Geusan Ulun (Angkawijaya) pada tahun 1585 M.
Wilayah Muntur pun diberikan oleh Maharaja Sanghyang Cipta sebagai hadiah
perkawinan. Di wilayah tersebut kemudian berdiri Kerajaan Galuh Kertabumi
dan Rangga Permana diberi gelar Prabu Dimuntur. Raja ini memerintah dari tahun
1585 sampai tahun 1602 M.
Adiknya Tanduran
Ageung, yang bernama Cipta Permana diberi wilayah Kawasen (Banjarsari)
dan mendirikan kerajaan Galuh Kawasen. Sedangkan Sanghyang Permana mewarisi
kerajaan ayahnya, memerintah di Galuh Salawe (Cimaragas) dengan gelar Prabu
Digaluh. Masa berdirinya KerajaanGaluh Kertabumi merupakan masa pengembangan
agama Islam dari Cirebon dan Sumedang ke wilayah-wilayah kerajaan
Galuh. Salah satu penyebarannya adalah dengan melangsungkan pernikahan
antara keluarga kerajaan yang masih menganut agama pra Islam dengan kerajaan
yang sudah diislamkan oleh Cirebon.
Hal tersebut
dilakukan oleh Rangga Permana dengan Tanduran Ageung. Dan jejak Tanduran Ageung
diikuti oleh Cipta Permana yang menikahi Putri Maharaja Kawali yang sudah
Islam. Tokoh yang mengislamkan Kawali saat itu adalah Adipati Singacala dari
Cirebon(makamnya di Astana Gede Kawali). Sejak saat itulah pengaruh Islam
semakin kuat di Kerajaan-kerajaan Galuh tug sampai jaman kiwari.
Menurut riwayat dari wilayahTalaga,
Prabu Haur Kuning ternyata merupakan generasi ke empat Prabu Siliwangi.
Ayah dari Prabu Haur Kuning bernama Rangga Mantri atau Sunan Parung Gangsa
(Pucuk UmumTalaga) yang menikah dengan Ratu Parung (RatuSunyalarang /
Wulansari). Sedangkan ayahRangga Mantri adalah salah seorang putra Prabu
Siliwangi yang bernama Prabu Munding Surya Ageung. Rangga Mantri yang
awalnya beragama Budha masuk Islam setelah ditaklukan Cirebon tahun 1530 M.
Dalam Riwayat
lain, disebutkan pula tokoh Anggalarang sebagai salah satu putra Prabu Haur
Kuning. Anggalarang adalah suami dari Dewi Siti Samboja yang kelak menciptakan
Ronggeng Gunung. Menurut H. Djaja Sukardja,tokoh Anggalarang diduga kuat
adalah nama lain dari Maharaja Upama sebelum menjadi raja. Sebagai pembanding,
keterangan lainya menyebutkan di wilayah pangandaran juga terdapat
kerajaan Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung dan beribukota Bagolo yang jauh
sebelumnya pernah dikunjungi Bujangga Manik.
Menurut Babad
Imbanagara yang disusun Ir. R Gumiwa Partakusumah, Raja Bagolo adalah
Sawung Galing yang menikahi Dewi Siti Samboja yang menjadi janda setelah
suaminya yaitu Raden Anggalarang meninggal terbunuh bajo. Sawung Galing dalam
sejarah Ronggeng Gunung adalah patih yang diutus oleh Prabu Haur Kuning untuk
membantu Dewi Samboja dalam membalaskan kematian suaminya yaitu Anggalarang.
Di beberapa daerah (Talaga,
Majalengka, Sumedang dan Ciamis) adanya kesamaan nama beberapa tokoh sejarah
ternyata saling memperkuat keberadaannya. walau terkadang sedikit
berbeda, baik jujutan tahun keberadaanya, garis silsilah, riwayat hidup, maupun
nama kerajaannya.Namun semuanya rata-rata bersumber atau berasal dari
keturunan yang sama, yaitu seuweu-siwi Prabu Siliwangi, penguasa agung Kerajaan
Pajajaran. (sumber Internet)
Perbedaan Silsilah
Mengenaisilsilah Rangga
Permana atau Prabu Dimuntur ternyata ada perbedaan antara BukuPatilasan
Kerajaan Galuh Kertabumi (PKGK) karya H. Djaja Sukardja dengan sumbersejarah
dari Sumedanglarang. Keterangandari Sumedanglarang menyebutkan bahwa
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orangistri. Yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng
Waru putrinya Sunan Pada, Kedua yaituRatu Harisbaya dari Cirebon,ketiga Nyi Mas
Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut Geusan Ulun dikaruniai15 orang putra.
Di antara putrannya itu,ternyata tidak ada nama Rangga Permana,
sedangkan di PKGK dinyatakan bahwa RanggaPermana adalah putra Geusan
Ulun, mana yang betul?
R. Gun Gun Gurnadi
salah seorang trah keturunan dari Ciancang (eks Kabupaten tahun1658-1811 M,
sebelah barat Kertabumi) yang juga mewarisi buku Sejarah Galoeh dari bao
nya, Dalem Wirabaya (Wiratmaka I) yang menjabat sebagai bupatiterakhir
Ciancang, menjelaskan bahwa Raden Permana sebetulnya adalah putra dariKyai
Rangga Haji, dan cucu dari Pangeran Santri hasil pernikahan dengan Ratu
Pucuk Umun. Rangga Haji merupakanputra kedua dari 6 bersaudara sedangkan
kakaknya yang tertua bernamaRaden Angkawijaya yang terkenal dengan nama GeusanUlun
“ Janten mun ditingal
tina garis keluarga, Rangga Permana atanapi Prabu Dimuntur nyaeta alona
Geusan Ulun, sanes putrana.” ujarnya. Lebih jauh R Gun Gun menandaskan bahwa
perbedaan keterangan tersebut adalah suatu hal yang wajar karena yang namanya sejarah
akan terus dianalisa setiap waktu sampai ditemukan data-data atau sumber
terbaru sampai pada kesimpulan yang mendekati kebenaran.
Sang Raja Cita,salah seorang putra Prabu Dimuntur,
menjadi penguasa Kertabumi berikutnya dengan pangkat Adipati, bergelar
Kertabumi I (1602-1608). Sedangkan pada waktu itu kekuasaan Prabu Geusan Ulun
di Sumedanglarang (1580-1608 M) meliputi Kuningan, Bandung, Garut,
Tasik,Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis) dengan Kutamaya sebagai
ibukota kerajaannya.
Putri Raja Cita bernama Natabumi diperistri oleh
Dipati Panaekan,pada saat itu pengaruh Mataram Islam dibawah pemerintahan
Mas Jolang yang bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613) mulai masuk ke wilayah
Galuh. Sedangkan putra kedua Raja Cita yang bernama Wiraperbangsa kelak
menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Adipati Singaperbangsa I
(1608-1618). Raja Cita dimakamkan di Kampung Buner, Desa Bojongmengger.
H. Djaja Sukardja merasa yakin bahwa riwayat Kota
Banjar yang dimulai dari Galuh Kertabumi semakin natrat ketika
Singaperbangsa I memindahkan pusat Kerajaan Galuh Kertabumi dari Gunung Susuru
ke Banjar Patroman(Desa Banjar Kolot). Penyebab perpindahan tersebut, akibat
terjadinnya perselisihan faham antara Singaperbangsa I dengan Adipat iPanaekan
(kakak iparnya) dalam rencana penyerangan terhadap Belanda di Batavia.
Adipati Panaekan condong kepada rencana Dipati Ukur
untuk menyerang secepatnya ke Batavia sebelum kekuatan Belanda makin besar.
Sedangkan Singaperbangsa I lebih sependapat dengan Rangga Gempol yang merencanakan
membangun kekuatan dengan mempersatukan wilayah Priangan. Rangga Gempol adalah
penguasa Sumedanglarang(1620 M dan berada dibawah pengaruh Sultan Agung
Mataram.
Akibatperselisihan tersebut membuat Adipati
Panaekan terbunuh. Jasadnya dihanyutkan ke Sungai Cimuntur kemudian
dimakamkan di Karangkamulyan. Akibat peristiwa tragis itu membuat
Singaperbangsa I tidak genah tinggal di Gunung Susuru, sehingga akhirnya
pindah ke Banjar Patroman. (Sumber Internet)
Desa Putrapinggan
Desa Putrapinggan termasuk
ke
Kecamatan Kalipucang, dahulu
Kabupaten Ciamis, namun kini masuk ke Kabupaten Pangandaran.
Putrapinggan yang aslinya Desa Ciputrapinggan,
dirubah menjadi Desa Putrapinggan oleh Kepala Desa Suratiman.
Sejak tahun 1912 Desa Putrapinggan telah ada dalam
sistem pemerintah an yang kala itu ada dalam kekuasaan penjajahan Hindia
belanda. Dalam awal berdirinya putrapinggan memang tidak ada bukti yang nyata
tentang awal berdirinya desa. Hal ini karena dokumen yang mengabsahkan secara
administratif tidak tersedia di arsip desa, bahkan tetua desa pun tidak ada
yang tahu secara pasti. Sebagai gambaran berdasarkan beberapa tokoh tokoh tua
yang masih ada, akan dijelaskan ikhwal keberadaan desa Putrapinggan.
Desa Putrapinggan awal namanya adalah Desa
Tjiputrapinggan (Ciputrapinggan), menurut beberapa tokoh, nama tersebut berasal
dari sumber mata air yang terdapat disuatu wilayah yang tak pernah kering walau
didera musim kemarau panjang, mata air tersebut ada yang aneh ketika air keluar
dari sumbernya yaitu membentuk gelembung yang seperti sebuah “pinggan” sejenis
tempat bumbu masak berbentuk kepal atau disebut mangkok. Karena air merupakan
sumber kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh manusia, khususnya oleh warga
didesa tersebut maka diberinama Ciputrapinggan (Wallohualam bisawab)
Sejak berdirinya Desa Putrapinggan telah dipimpin
oleh 11 kepala desa terpilih. Menurut beberapa tokoh tua desa urutannya adalah
sebagai berikut :
- Kuwu
Bintang
- Kuwu
Raspian/Kengkong
- Kuwu
Ardipraja
- Kuwu
Suarjo
- Kuwu
Arjawisastra/Mistar
(1962-1967)
- Kuwu Uli
Suyadi
(1967-1978)
- Pjs.
Kepala Desa E.
Kosasih
(1978-1980)
- Kepala
Desa E.
Kosasih
(1980-1988)
- Pjs.
Kepala Desa
Z.Komarudin
(1989-1990)
- Kepala
Desa Suratiman
(1990-1998)
- Pjs.
Kepala Desa
Z.Komarudin
(1998-1999)
Ket: Diteruskan oleh Salam selaku Pymt dan
dilanjutkan oleh Cucu Sutria.
- Kepala
Desa
Wartoyo
(2000-2008)
- Kepala
Desa Undang Supriatna
(2009-2010)
- Pjs.
Kepala Desa
Salam
(2010-2011)
- Kepala
Desa
Juhen
(2011-……)
- Kembali oleh Pjs Salam (2015-…….)
- Kini Putrapinggan dipimpin oleh Kepala Desa hasil pilihan masyarakat yaitu Kuwu Salam
Diawal berdirinya ketika Kuwu Bintang menjadi
Kepala Desa, Desa Putrapinggan saat itu hanya 17 Umpi (kepala keluarga). Adapun
pusat pemerintahan Desa saat itu di Cirateun (dekat rumah Karwas) yang
merupakan salah satu kampung yang paling padat, selain Cirateun, ada kampung
lain yang cukup eksis keberadaanya yaitu Bojong, Karanggondang, Pandean, Ranca
Petir/Karangsari, Panggadegan, Rancakalong/Lembahputri. Bahkan didesa Putrapinggan
terdapat situs penting di Kabupaten Ciamis, yakni situs gunung Panaekan (Mbah
Jayandaru) yang terletak didusun Bojong. Erat kaitannya dengan sejarah
penyebaran agama Islam dikerjaan Galuh saat itu.
Didesa Putrapingganpun dipercaya sebagai bekas
pusat pemerintahan Kerajaan Galuh Pangauban yang dipimpin oleh Raja Prabu Haur
Kuning dan merupakan sempalan Kerajaan Galuh yang pusatnya dikawali (Astana
Gede) menurut tulisan Babad Galuh Imbanagara, yang disusun oleh Ir. Raden Iwa
Gumiwa tahun 1971. Namun sayang sampai saat ini belum ada penelitian lebih
lanjut dari pihak kepurbakalaan untuk mengungkap kebenaran cerita tersebut.
Tetapi apabila dikaitkan dengan sejarah Pananjung, Bagolo, Cikembulan, Kawasen,
dan cerita Ronggeng Gunung, kemungkinan cerita tersebut merupakan sejarah yang
harus diungkap sehingga jelas kebenarannya.
Sebagai Kuwu kedua, Raspian melanjutkan program
pembenahan kedalam, terutama pamong desa terlebih dahulu yang harus menjadi
tauladan dan panutan masyarakat desa. Beliau juga melanjutkan program
penertiban administratif desa. Hal ini memudahkan pemerintah selanjutnya karena
kepentingan keadilan pelayanan prima pemerintah desa saat itu maka pusat
pemerintahan desa dipindahkan ke dusun karangsari yang dipandang tengah-tengah
letaknya. Ini terjadi pada masa Kepala Desa Suarjo. Pembuatan balai desa
dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang
ada. Termasuk bahan baku diambil dari wilayah Desa Putrapinggan yang memang
subur dengan sumber daya alam.
Untuk selanjutnya pemerintahan dilanjutkan oleh
Kepala Desa Arjawisastra, yang lebih dikenal dengan sebutan Kuwu Mistar. Beliau
eksis dalam penguatan keamanan desa supaya masyarakat tenang dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Apalagi saat itu terjadi pemberontakan PKI yang
mengguncangkan sistem Pemerintahan RI secara umum, imbasnya termasuk ke desa
Putrapinggan. Namun berkat persatuan dan kesatuan yang kuat antara aparat
keamanan, pemerintah desa, dan masyrakat yang terlibat, gangguan tersebut dapat
diatasi bahkan masyarakat yang terlibat ditangkap dan diadili. Perehaban
bangunan balai desa dilakukan ketika Uli Suyadi menjadi Kepala Desa. Hal ini
dipaandang perlu untuk lebih meningkatkan kapabilitas dan kualitas pelayanan
pemerintahan desa terhadap masyrakatnya.
Ketika masa Kepala Desa Suratiman, ada penggantian
nama desa dari Ciputrapinggan menjadi Putrapinggan. Selain itu ada pula
penggantian beberapa nama tempat, diantaranya Pasir Pugag menjadi Pasir
Panjang, dan Rancakalong menjadi Lembah Putri. Tidak ada sumber tepat mengapa
hal itu dilakukaan namun semua itu untuk kepentingan dan kemajuan desa.
Setelah Kepala Desa Suratiman terjadi kekosongan
pimpinan sehingga pemerintahan dipimpin oleh Pejabat Sementara, yaitu Z.
Komarudin. Setelah kurang lebih dua tahun, baru diadakan pemilihan kepala desa.
Saat itu calonnya ada dua yakni Wartoyo dan Undang Supriatna. Hasil pemilihan
kepala desa yang dilaksanakan secara LUBER terpilih Wartoyo untuk masa bakti
tahun 2000-2008 (sumber internet)
Karanggonadang latar
belakang dari Galuh Pangauban
Karanggondang.....
Nama tempat ini merupakan sebuah
Dusun di Desa Putrapinggan yang dahulunya kerajaan Galuh Pangauban. Karanggondang
dulunya hutan belantara, Awal pembukaannya tidak terlalu jelas, namun hingga
tahun 1998, Karanggondang masih memiliki pemimpin yang cukup disegani, dia
adalah Murdiki bin Resantika
(
masih trah Mataram).
Karanggondang terletak jauh di tengah hutan, lokasinya berada di bukit Karanggondang
serta di atasnya terdiri dari bukit-bukit lagi yang membentuk sebuah
perkampungan.
Bukit yang ada di Karanggondang
diantaranya Gunung
Sayangkaak, Lokasi ini sungguh
elok, karena dari bukit ini bisa memandang lautan, dari Lembahputri hingga Pantai
Pangandaran, demikian pula dari Sayangkaak bisa melihat pesawahan di Pandean
dan Babakan. Di gunung Sayangkaak ini, dulunya terdapat pohon kiara yang sangat
besar dan dihuni oleh jurig sebangsa
buto ijo, gederwo, kuntilanak dan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, pohon kiara roboh, pertanda mahluk jurignya
pergi. Menurut para tetua robohnya pohon besar itu pertanda akan ada pemingpin
Negara yang lengser tidak secara wajar.
Ada lagi Gunung Munggang
Herang, menurut tetua adat, yaitu Murdiki, di Munggang Herang ini dulunya
tempat persinggahan para wali jika mereka tengah bepergian. Tempat ini juga
biasa untuk rapat oleh para wali. Namun Munggang Herang, kini sudah hampir
hilang, mungkin karena keserakahan manusia. Pohonnya kini hanya terdapat pohon
benda yang usianya sudah ratusan tahun.
Selanjutnya
ada gunung/pasir Dregel, lokasi ini sebetulnya dua bukit berhadapan. ditempat
ini disemayamkan tetua Karanggondang yaitu Murdiki tadi.
Selain gunung, di
Karanggondang dulu banyak tempat yang sangat angker, sebut saja Ci cangkuang, (cangkuang sejenis pandan hutan, biasa
dibuat untuk tikar) jika kita selesai nanjak Gunung Karanggondang yang
terjal dan tanjakannya mencapai 85 derajat, lalu keluar hutan, mulai masuk
perkampungan Karanggondang, kita akan disambut oleh solokan yang dihampari
batu, di tempat itu ada pohon sempu, yang hingga kini masih hidup.
Di pohon itulah letak keangkerannya, karena
jika kita salah berucap atau mengeluarkan kata-kata yang kurang baik, kita akan
kena tulah atau bahasa lainnya kalap, atau kita bermain atau tanpa sengaja
melintas di tempat itu saat waktu Dzohor, atau saat sandekala, maka kita akan
kena tulah atau kalap. Selain Cicangkuang, ada lagi yaitu Sodong, tempat itu
dulu sangat angker, disitu ada batu sebesar rumah type 36, dan ada pohon benda,
konon tempat itu suka dipake untuk bertapa. Pernah satu ketika, ada orang
sedang bertapa, tapi ditengah malam orang itu lari ke Mesjid yang berjarak +200 meter, di mesjid ada tetua Kampung
yaitu Murdiki, kemudian orang itu terengah-engah ketakutan, lalu ditanya
kenapa kok lari seperti di kejar setan. Lalu orang itu mengaku bahwa dirinya
ketakutan saat bertapa digoda oleh kodok naik Vespa, kodok naik sepeda, kodok
menari, ikan main calung dan binatang tadi mengelilingi dirinya. Ditanya oleh
Murdiki, untuk apa kamu bertapa, ingin dapet nomor togel katanya. Lalu Murdiki
menasehati agar dia lebih baik solat dan jangan bertapa. Kalau disodong bisa
bikin kaya, pasti orang
Karanggondang sudah kaya semua.
Lalu
adalagi Cilasa, tempat ini merupakan hutan bambu, disitu banyak batu-batu
raksasa, banyak jurig, jin setan pri prayangan,
hingga kini tempat ini masih angker, walau beberapa orang berani
menempati. Kalau dulu sekitar tahun 1980han hanya ada 3 rumah penduduk, yaitu
Wirya Meja, Rasdi, dan Karto, tapi kini mungkin malah tidak ada.
Selain
lokasi angker itu, ada juga Kedung Lieur, ini aliran sungai yang memiliki
kedung atau kubangan besar, disitu ada batu raksasa, konon kalau bukan penduduk
asli, jika jam 12 siang masih di kali atau tanpa ingat Allah, maka orang itu
akan sakit kepala dan bisa pingsan, karena lieur atau artinya pusing. Cikuda
paeh, dahulu pada masa kerajaan galuh Pangauban, kuda sang Pembesar kelelahan
karena jalan naik-turun gunung, hingga pada saat sampai dilokasi itu, kudanya tak kuat lagi, kuda pun mati, maka kuda itu
dikuburkan dilokasi pinggir sungai. Kini lokasi ini jadi perkampungan dan
pesawahan rakyat.
Cikangkung,
lokasi ini dahulunya pesawahan yang subur, selain padi, kangkung terdapat
sangat banyak, hingga masyarakat cukup hidup dengan menjual kangkung saja.
Sungai
yang cukup besar, ikannya banyak, dan lumayan dalam, terletak dibalik gunung dregel
atau pasir dregel, terdapat banyak batu-batu raksasa, bahkan aliran sungai itu
melintas dipunggung batu yang menggunung, uniknya ada sumur di punggung batu
yang jadi sungai itu. Didalam sumur
terdapat banyak ikan, kadang anak-anak suka nyair atau memancing di sumur itu.
Namun jika musim hujan, punggung batu itu tidak bisa dilewati, selain licin
sangat berbahaya karenaairnya deras, jika terjatuh bisa fatal, akan tergelincir
kebawah sekitar 15 meter dengan kemiringan 80 derajat. Jika jatuh dan terguling
ke bawah, akan parah, karena sepanjang aliran sungai di posisi itu semua hamparan
batu sekitar 15 meter menurun kurang lebih 80 derajat.
Lokasi
ini karena dibalik gunung, terima mataharinya setelah pukul 8 pagi, maka
disebut Nyalindung, atau tersembunyi. Konon angker juga, karena dulu
banyak ular dan banyak gederwo. Tapi
sekarang gak tau.
Gupitan,
lokasi ini merupakan puncak bukit gupitan, disini dahulu dibangun balai
kampung, halaman balai dipake untuk lapang volley. Di lereng bukit gupitan
terdapat makam besar, seluruh warga kampung Karanggondang, jika meninggal akan
dikubur disitu.
Jika menuju ke kampung Karanggondang
lewat jalur emplak, maka kita akan melewati yang namanya sungai kecil bernama
sulangjana. Dahulu tempat ini sangat angker, karena jika kita melewati sungai
ini lewat magrib, maka sering bertemu obor/oncor berjalan sendiri. Oncor itu
katanya itu merupakan mata sang lodaya atau macan siluman. Jika kita tidak permisi, maka lampu, senter, atau motor kita
akan mati, maka gelap gulita yang ada. Mesin motor atau mobilpun bisa mati,
maka kita harus permisi dulu atau jangan melintas pas waktu magrib. Setelah
sulangjana, maka saat keluar hutan kita akan disambut dengan sungai Cikadu, ini
sungai besar dan bening, aliran ini berasal dari kedung lieur. **Wsn
Tetua Karanggondang
Para pemimpin kampung ini dahulu
ada aki Wijaya,dia seorang pemimpin kampung, dia adalah Kepala Dusun atau Kadus.
Di Putrapinggan Kadus disebut Golongan, aki Wijaya adalah golongan, dia
keturunan raja Galuh juga, namun asal-usulnya tidak ada yang tahu, putranya
masih ada bernama Sahili. Aki Karsan adalah tokoh yang santun, dia tidak
menjadi pemimpin, namun dia biasa menasehati para pemimpin Karanggondang.
Ada aki Jana, dia seorang RT yang berilmu
tinggi, dia ahli pencak silat dan tukang menaklukan ular.
Ada aki
Suparta, dia tetua kampung, berilmu tinggi,
banyak memegang pusaka kerajaan. Kemudian
Rumanta, dirinya seorang ahli pengobatan
tradisional, pasiennya kebanyakan karena kalap atau karena gangguan mahluk
halus, jadi dahulu jika ada yang kena gangguan mahluk halus, dialah yang mampu
mengobati. Ada Nata Saman, yang hingga kini masih hidup, usianya sudah 111 tahun
saat penulisan ini tahun 2015, tapi masih bisa jalan ke Jakarta, Bandung,
Garut, Cirebon, bahak masih bisa kunjungan ke redaksi Kawalitv dan
kawalinews.com. Selanjutnya ada Pak Jenal dan Anwari, mereka tetua dibidang
keagamaan, selain Murdiki selaku DKM, Jenal dan Anwari adalah pemuka agama di
Karanggondang. Misdi, dia adalah juga tokoh Karanggondang, menantunya Komarudin
sempat menjabat sebagai Kepala Desa Putrapinggan. Aki Kartaja, orang ini sakti,
mampu menghilang dan kesaktiannya tersohor. Terakhir orang yang menjadi pupuhu
atau pemimping atau yang dituakan adalah Murdiki. Murdiki memimpin
Karanggondang sejak tahun 1978 hingga tahun 1998. Dia meninggal
dunia dengan tenang pada bulan April tahun 1998, dihadapan isteri, anak
perempuan dan cucunya.
Dia keturunan Mataram, dari atasnya,
sekilas: Kerta Pujangga, Adipati Kertanegara, Tumenggung Kalapaking, Raden Gado
Dara, Raden Aris, Merta Menggala, Merta Wijaya, Resantika, Murdiki dan terakhir
Wasono. Itu keturunan sekilas tentang Murdiki bin Resantika **wsn
Keadaan Galuh Pangauban
Kerajaan Galuh Pangauban berada di
hadapan kampung Karanggondang, lokasi itu disebut tamiang kuning, disitu dahulu
ada batu sebesar gentong
yang bisa
diangkat-angkat, namun karena belum ada perhatian pemerintah, lokasinya di
hutan lebat, maka batu itu hilang. Disebut tamiang kuning, karena lokasi ini
dipagari oleh bambu kuning, karena juga rajanya memang Prabu Haur Kuning.
Areal ini sekitar 3 sampai 5 hektar, kini jadi
hutan lindung. Lokasi ini dijaga oleh ular besar yang sewaktu-waktu muncul, namun
walaupun dijaga, tapi dasar pencuri, batu itu bisa dicuri. Jika dipandang dari
arah pantai, kraton Galuh Pangauban berada di bukit Karanggondang, namun jika
dari lokasi kraton, memandang kedepan, tampak pantai Rancakalong atau lembah
putri, tampak pantai Pangandaran, dan pasir kepala dimana pasir kepala itu
sebagai pusat penjagaan masa lalu, namun
kini jadi penginapan.
Untuk
lokasi latihan para prajurit, tidak jauh dari tamiang kuning ada Rata Jengkol,
masyarakat biasa memanfaatkan buah jengkolnya untuk dikonsumsi, selain jengkol
banyak gadung, manga dan petai/pete, namun kini telah habis. Ada juga pasir
bitung, lokasi ini lebih tinggi lagi dari tamiang kuning dan rata jengkol,
disini banyak bambu bitung, masyarakat biasa memanfaatkan rebungnya untuk
konsumsi.
Untuk
pengembangan kekuasaan dan benteng kekuatan, di Karanggondang juga terdapat
kiara koneng, dahulu pohon kiara ini sangat kuat, usianya sudah ratusan tahun,
tapi saat Presiden Suharto akan lengser pohon itu tumbang, bersamaan dengan
pohon kiara di sayangkaak.
Ciwalingi adalah taman para putri
kraton, lokasi ini kini kebun yang tidak terurus, masyarakat takut untuk
menggarap karena angker. Lokasi ini
hamparan batu seluas kurang lebih 5 hektar. Di hamparan batu itu terdapat sumur
batu yang disebut beji, kedalamannya hanya 2 meter saja, tapi airnya tidak
pernah habis, sehingga jika kemarau panjang, masyarakat yang berani, banyak
yang memanfaatkan airnya. Sebetulnya tempat angker itu, tidak akan mengganggu
kita selaku manusia, asal kitanya saling menghargai sesama mahluk Allah, kita wajib saling
menghargai, apalagi tempat itu dibuat oleh manusia pada sekitar 500 sampai 1000
tahun yang lalu.
Saya Wasono yang dilahirkan di
Karanggondang, hidup dan besar di Karanggondang, namun baru tahu bahwa itu merupakan bekas keraton Galuh
Pangauban, sekitar 15 tahun silam.
Setelah membaca beberapa buku, dari internet, serta cerita para sesepuh di
Ciamis yang mengarah keposisi dan nama itu. Rangkuman ini juga dari buku dan dari internet.
Kawali 5 Januari 2015. Jika ada salah penulisan mohon maaf, namun itu
yang saya tahu dari buku karya H. Jaja, Sumber Internet dan Cerita dari
orangtua. Masih Banyak sumber lain, silahkan cari di berbagai jalur **wsn