• Jalan Raya Kawali Dihotmik

    Klik Untuk Membaca Berita Selengkapnya

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Dunia Tokusatsu: Spektakuler Tapi Masih Terjebak Pola Lama?


Tokusatsu adalah genre hiburan Jepang yang menampilkan aksi heroik, efek khusus, dan kostum mencolok. Kita mengenal Tokusatsu dari serial seperti Kamen Rider, Super Sentai (Power Rangers versi Jepang), dan Ultraman. Walaupun punya basis penggemar yang kuat di seluruh dunia, ternyata genre ini tidak luput dari kritik. Di balik ledakan dan aksi keren, ada masalah yang terus berulang. Apa saja itu? Yuk kita bahas dengan cara yang santai tapi tajam!

1. Pola Cerita yang Terlalu Repetitif

Sebagian besar serial Tokusatsu menggunakan formula cerita yang sama dari tahun ke tahun. Tokoh utama mendapatkan kekuatan, muncul monster mingguan, bertarung, lalu menang. Ini membuat beberapa penonton merasa jenuh karena bisa menebak alurnya bahkan sejak episode pertama.

Misalnya, dalam Kamen Rider Revice (2021) dan Kamen Rider Geats (2022), struktur "monster of the week" tetap digunakan. Meskipun ada twist narasi, polanya tidak jauh berbeda dengan Kamen Rider era sebelumnya seperti Kamen Rider Ryuki (2002) atau Kamen Rider Den-O (2007). Bahkan di forum penggemar seperti Reddit r/KamenRider, banyak yang mengeluh soal cerita yang makin mudah ditebak dan terlalu banyak gimmick.

2. Kualitas CGI dan Efek Khusus yang Tidak Konsisten

Untuk genre yang menjual efek visual, kualitas CGI Tokusatsu kadang terlihat “murahan” jika dibandingkan dengan produksi internasional seperti Marvel atau bahkan film Korea terbaru.

Contoh yang cukup disorot adalah dalam serial Ultraman Trigger (2021). Banyak penonton mengeluhkan efek CGI monster yang terlihat kaku dan background digital yang tidak realistis. Komentar negatif ini banyak muncul di YouTube resmi Tsuburaya dan forum diskusi Tokunation.

"CGI-nya seperti dari PS2 era..."
– Komentar penggemar di episode ke-5 Ultraman Trigger di YouTube.

3. Minim Representasi Karakter Wanita yang Aktif dan Kuat

Walaupun sudah era modern, karakter perempuan dalam Tokusatsu masih sering jadi karakter pendukung atau ‘pelengkap’. Jarang ada tokoh utama wanita yang memiliki porsi kepahlawanan penuh.

Dari puluhan Kamen Rider utama, hanya beberapa yang perempuan, salah satunya adalah Kamen Rider Tsukuyomi dari Kamen Rider Zi-O, dan itu pun muncul menjelang akhir seri. Dalam Super Sentai, karakter wanita biasanya hanya mendukung tim dan jarang menjadi pemimpin utama.

Bandingkan dengan dunia superhero barat, di mana Wonder Woman, Captain Marvel, hingga Ms. Marvel sudah menjadi tokoh utama sejak awal.

4. Komersialisasi Berlebihan Lewat Mainan

Setiap seri Tokusatsu kini terkesan lebih fokus menjual mainan daripada memperkuat narasi atau karakterisasi. Sering muncul banyak bentuk transformasi (form change) hanya agar bisa dijual dalam bentuk merchandise.

Dalam Kamen Rider Saber (2020), tokoh utama memiliki belasan bentuk transformasi dengan gimmick buku ajaib. Banyak penggemar menyebut cerita jadi membingungkan karena terlalu banyak item dan kurang fokus pada konflik utama. Dalam laporan tahunan Bandai (perusahaan mainan), penjualan mainan Kamen Rider mencapai lebih dari 30 miliar yen, menunjukkan betapa besarnya orientasi bisnis dalam penulisan cerita.

5. Kurangnya Eksplorasi Budaya Lokal di Luar Jepang

Walau Tokusatsu populer secara global, ceritanya masih sangat terpusat pada Jepang, baik dari sisi budaya, lokasi, maupun karakter. Padahal ini bisa jadi kesempatan untuk memperluas cakupan cerita dan mendekatkan diri pada audiens internasional.

Hanya beberapa contoh luar Jepang yang pernah muncul seperti syuting Super Sentai di Bali, atau kerja sama Indonesia lewat BIMA Satria Garuda. Namun ini masih langka. Bandingkan dengan Marvel yang berani menghadirkan latar di Wakanda (Afrika), Inggris, India, dan bahkan Jakarta (di The Falcon and the Winter Soldier).

Tokusatsu Harus Berani Berevolusi

Tokusatsu punya tempat khusus di hati banyak penonton. Tapi untuk bisa tetap relevan di era global saat ini, perlu ada keberanian untuk berubah, tidak hanya dari sisi visual, tapi juga dari isi cerita, representasi karakter, dan jangkauan budaya. Tokusatsu tidak boleh hanya jadi tontonan anak-anak, tapi bisa berkembang menjadi tontonan berkualitas untuk semua umur, seperti superhero barat atau drama Korea modern.**Gareng.jr




Referensi:

  • Bandai Namco Annual Report 2023

  • Forum Diskusi: Reddit r/KamenRider, Tokunation

  • YouTube: Tsuburaya Official Channel

  • IMDb Reviews Kamen Rider Series

  • Pew Research Pop Culture Trends Asia 2022

Share:

Jejak Budaya Indonesia di Dunia Tokusatsu: Ketika Nusantara Menyapa Jepang

    

    Tokusatsu, genre hiburan asal Jepang yang mengandalkan efek khusus, telah lama menjadi favorit penggemar budaya pop di seluruh dunia. Dari Kamen Rider, Ultraman, hingga Super Sentai, pengaruh global terlihat jelas. Namun, siapa sangka bahwa budaya Indonesia pun pernah menyelinap masuk ke dalam dunia penuh aksi dan kostum ini? Di balik sorotan robot raksasa dan pahlawan bertopeng, terdapat momen-momen kecil yang membawa semangat Nusantara ke layar kaca Jepang.

1. Batik dan Ornamen Nusantara di Desain Kostum

    Beberapa seri Tokusatsu mulai menampilkan desain kostum atau karakter yang secara visual mengadopsi motif etnik. Dalam serial Kamen Rider Gaim (2013), misalnya, meski tema utamanya buah dan samurai, beberapa motif pada kostum memiliki kemiripan dengan pola batik modern. Meskipun belum dikonfirmasi secara resmi sebagai inspirasi langsung dari Indonesia, pola geometris dan warna-warna tanah yang digunakan mengingatkan pada gaya batik kontemporer.


2. Bahasa dan Referensi: Nama Karakter dan Dialog

    Meskipun jarang, beberapa karakter di Tokusatsu memiliki nama yang mirip dengan nama-nama dari bahasa Indonesia atau Melayu. Misalnya, dalam Ultraman Tiga, kata “Tiga” sendiri berarti “tiga” dalam bahasa Indonesia dan Malaysia. Nama ini bukan kebetulan, karena saat itu pasar Asia Tenggara mulai menjadi perhatian produsen hiburan Jepang. Nama tersebut digunakan karena mudah diucapkan dan memiliki makna numerik yang kuat dalam cerita.

3. Fanbase Indonesia yang Aktif dan Berpengaruh

    Budaya Indonesia juga muncul secara tidak langsung melalui fanbase. Komunitas Tokusatsu Indonesia sering membuat fan art, dubbing bahasa Indonesia, hingga fan-made suit yang terkadang viral hingga Jepang. Ini menjadi bentuk “reverse influence” — ketika budaya konsumsi dari Indonesia memberi pengaruh balik terhadap pembuat kontennya.

4. Potensi Kolaborasi di Masa Depan

    Melihat pertumbuhan fanbase Tokusatsu di Indonesia, bukan tidak mungkin ke depan akan ada karakter Tokusatsu yang benar-benar mewakili budaya Indonesia — misalnya, Kamen Rider dengan motif Garuda, atau pahlawan dari Super Sentai yang membawa senjata berbentuk keris. Sudah ada proyek lokal seperti Bima Satria Garuda yang diproduksi bekerja sama dengan Ishimori Productions dari Jepang, menjadi langkah awal kolaborasi nyata dua budaya besar ini.

    Serial BIMA Satria Garuda (2013) merupakan hasil kerja sama antara MNC Indonesia dan Ishimori Productions (yang juga memproduksi Kamen Rider). Tokoh utamanya menggunakan simbol Garuda, lambang negara Indonesia. Kostum, alur cerita, dan setting-nya menggabungkan nuansa lokal dengan gaya visual khas Tokusatsu Jepang.

    Tokusatsu membuktikan bahwa budaya pop adalah ruang dinamis yang bisa menyerap berbagai elemen dari seluruh dunia. Jejak budaya Indonesia di genre ini menunjukkan bahwa identitas Nusantara mampu hadir bahkan di tengah hiruk-pikuk efek visual dan cerita futuristik. Semakin banyak kolaborasi, semakin terbuka peluang untuk budaya Indonesia bersinar dalam panggung hiburan global.**Gareng.jr

Share:

Kawali TV

Blog Archive

Recent Posts

BERITA